Sayidi Abdul Qadir Jailani adalah seorang ulama terkenal. Beliau bukan hanya terkenal di sekitar tempat tinggalnya, Baghdad, Irak. Tetapi hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenalnya. Hal itu dikarenakan kesalihan dan keilmuannya yang tinggi dalam bidang keislaman, terutama dalam bidang tasawuf.
Nama sebenarnya adalah Abdul Qadir. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar seperti; Muhyiddin, al Ghauts al Adham, Sultan al Auliya, dan sebagainya. Sayidi Abdul Qadir Jailani adalah ahli bait keturunan Rasulullah SAW. Ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah, adalah keturunan Mawlana al-Imam Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qadir Jailani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah Imam ‘Ali bin Abi Thalib.
Sayidi Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada tahun 1077 M / 469 H. Pada saat melahirkannya, ibunya sudah berusia 60 tahun. Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Jailan. Karena itulah di belakang namanya terdapat julukan Jailani. Penduduk Arab dan sekitarnya memang terbiasa menambahkan nama mereka dengan nama tempat tinggalnya.
Sayidi Abdul Qadir dan Perampok
Setelah menginjak masa remaja, sayidi Abdul Qadir meminta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah sayidi Abdul Qadir muda untuk memulai pencarian ilmunya.
Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri sayidi Abdul Qadir, dan bertanya,
“Apa yang engkau punya?”
Sayidi Abdul Qadir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran sayidi Abdul Qadir. Bagaimana mungkin ada orang mengaku memiliki uang kepada perampok. Kemudian perampok itupun melapor pada pimpinannya.
Sang pemimpin perampokpun segera menghampiri sayidi Abdul Qadir dan menggeledah bajunya. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kepala perampok itu benar-benar dibuat seolah tidak percaya. Ia lalu berkata kepada sayidi Abdul Qadir,
“Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?”
Maka sayidi Abdul Qadir pun menjawab, “Aku telah dipesani oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.”
Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban sayidi Abdul Qadir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.”
Kemudian kepala perampok itu menyerahkan kembali uang itu pada sayidi Abdul Qadir dan melepaskannya pergi. Sejak pertemuannya dengan kekasih Allah sayidi Abdul Qodir al-Jailani, tak lama kemudian sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolan perampoknya.
Mengembara
Pencarian ilmunya berlanjut. Kemudian berangkatlah sayidi Abdul Qadir ke Baghdad. Baghdad adalah ibukota Irak. Saat itu Baghdad adalah sebuah kota yang paling ramai di dunia. Di Baghdad berkembang segala aktiitas manusia. Ada yang datang untuk berdagang, mencari pekerjaan bahkan menuntut ilmu. Baghdad merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar pada saat itu.
Saat itu tahun 488 H. Usia sayidi Abdul Qadir baru 18 tahun. Pada saat itu, khalifah atau penguasa yang memimpin Baghdad adalah Khalifah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.
Ketika Syaikh Abdul Qadir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh Sayidna Khidir as. Sayidna Khidir adalah seorang wali Allah yang disebut dalam Al-Qur'an dan diyakini para ulama masih hidup hingga kini. Saat menemui syaikh Abdul Qadir, Nabi Khidir mencegahnya masuk ke kota Bagdad itu.
Nabi Khidir berkata, “Aku tidak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai tujuh tahun ke depan.”
Tujuh Tahun Tinggal di Tepi Sungai
Tentu saja Sayidi Abdul Qadir bingung.mengapa ia tidak diperbolehkan masuk ke kota Baghdad selama tujuh tahun? Tetapi syaikh Abdul Qadir tahu, bahwa jika yang mengatakan itu adalah sayidina Khidir, tentu dia harus mengikuti perntahnya tersebut.
Oleh karena itu, syaikh Abdul Qadir pun kemudian menetap di tepi sungai Tigris selama tujuh tahun. Tentu sangat berat. Ia yang selama di rumah bisa hidup bersama orang tua dan saudara-saudaranya di rumah, sekarang harus hidup sendiri di tepi sungai. Tidak ada yang dapat dimakannya kecuali daun-daunan. Maka selama tujuh tahun itu ia memakan dedaunan dan sayuran yang bisa dimakan.
Pada suatu malam ia tertidur pulas, sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam. Ketika itu ia mendengar suara yang jelas ditujukan kepadanya. Suara itu berkata, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”
Keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Maka, ia pun masuk ke Baghdad. Di kota itu ia berjumpa dengan para Syaikh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syaikh Yusuf al Hamadani. Dari dialah syaikh Abdul Qadir mendapat ilmu tentang tasawuf. Syaikh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa syaikh Abdul Qadir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali.
Berguru Kepada Para Ulama Besar
Syaikh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu engkau akan berkata, ˜Kakiku ada di atas pundak para wali.”
Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, syaikh Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad ad-Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, syaikh Abdul Qadir mendapatkan ilmu tentang Tariqah yang akarnya adalah Syari’ah. Dalam tariqahnya, beliau mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa siang malam, berdzikir, bershalawat, berpuasa sunnah, bershadaqah, berzuhud dan berjihad (melawan nufus yang kotor), sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada syekh Abdul Qadir. Dari situ syaikh Abdul Qadir berdakwah kepada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim.
Dan dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.
Menjadi Ulama Besar
Syaikh Abdul Qadir tidak hanya berguru kepada para ulama di atas. Dia juga memperdalam ilmunya kepada para ulama besar yang lain. Di antaranya adalah Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi. Seluruh guru-guru Syaikh Abdul Qadir tersebut adalah para ulama besar yang ilmunya sangat luas dalam bidang agama. Sebab itulah, tidak heran jika kemudian Syaikh Abdul Qadir menjadi ulama besar menggantikan para ulama tersebut.
Sebegaimana telah disebutkan, suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi, guru Syaikh Abdul Qadir, membangun sekolah atau Madrasah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat karena mendengar nasehat dan kalam hikmahnya beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak cukup untuk menampung orang yang datang ingin berguru kepada Syaikh Abdul Qadir.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab. Ia berdakwah kepada semua lapisan masyarakat, hingga dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syaikh Abdul Qadir Jailani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq. Akhirnya beliau dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H.
Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya, syaikh Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M). Kemudian diteruskan anaknya syaikh Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syaikh Abdul Qadir Jailani, syaikh Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M). Namun sayang sekali, sekolah yang besar itu akhirnya hancur ketika Baghdad diserang oleh tentara Mongol yang biadab pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar di dunia bernama tarekat Qadiriyah, bahkan beliau adalah salah satu dari al-Auliya' al-Aqthab al-Arba'ah (empat wali qutub / imam ilmu hakikat), yaitu sayidi Ahmad al-Rifa'i, sayidi Abdul Qodir al-Jailani, sayidi Ahmad al-Badawi, sayidi Ibrahim ad-Dusuqi.
Kesaksian Para Syaikh
Syaikh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syaikh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syaikh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakkur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, "Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!".
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syaikh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ˜Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syaikh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syaikh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syaikh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syaikh Bisri al Hafi, 4) Syaikh Mansur ibn Amar, 5) Syaikh Junaid al-Baghdadi, 6) Syaikh Siri as-Saqoti, 7) Syaikh Abdullah at-Tustari, dan Syaikh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syaikh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syaikh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah orang salih yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya “Risalatul Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syaikh Abdul Qadir Jailani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Dalam hal ini, contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syaikh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang bertawakkal dan memiliki karamah.
Syaikh Hafidz al Barzali, mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan Syaikh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakkur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”
Syaikh Abdullah al Jubba’i mengatakan:
“Syaikh Abdul Qadir Jailani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: “Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 Syaikh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah Syaikh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah.”
Kisah Yang Terkenal
Pada suatu malam ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah yang panjang. Tiba-tiba muncul seberkas cahaya terang. Bersamaa dengan itu, terdengar suara, “Wahai Syaikh, telah kuterima ketaatanmu dan segala pengabadian dan penghambaanmu, maka mulai hari ini kuhalalkan segala yang haram dan kubebaskan kau dari segala ibadah”.
Abdul Qadir Jailanai mengambil sandalnya dan melemparkan ke cahaya tersebut dan menghardik “Pergilah kau syetan laknatullah!”.
Cahaya itu hilang lalu terdengar suara “Dari manakah kau tau aku adalah syetan?,”
Syaikh Abdul Qadir menjawab, Aku tahu kau syetan adalah dari ucapanmu. Kau berkata telah menghalalkan yang haram dan membebaskanku dari syariat, sedangkan Nabi Muhammad SAW saja kekasih Allah masih menjalankan syariat dan mengharamkan yang haram.
Syetan berkata lagi, Sungguh keluasan ilmumu telah menyelamatkanmu.
Syaikh Abdul Qadir berkata, Pergilah kau syetan laknattullah! Aku selamat karena rahmat dari Alah Swt. bukan karena keluasan ilmuku.
Syaikh Abdul Qadir dan Anak Seorang Wanita Miskin
Suatu saat, seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani. Wanita itu berkata, Ya Sayidi, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi, engkau memberi.�
Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin. Ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia melihat seluruh murid Syaikh menghadiri suhbat (nasihat) dan dzikir. Di hadapan setiap orang ada seekor ayam yang kemudian mereka makan.
Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina Abdul Qadir kaya baik di dunia maupun di akhirat. Aku akan suruh anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan ikut makan di pagi dan malam hari.
Ia berkata, "Aku ingin anakku menjadi muridmu".
Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh seorang murid, Muhamad Ahmad, "Bawa dia ke ruang bawah tanah dan berikan padanya award (roti kering) untuk khalwat (menyepi). Berikan untuknya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap hari".
Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam setiap harinya. Saat datang itu, ia melihat para murid Syaikh duduk dan sedang makan ayam.
Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Syaikh Abdul Qadir menjawab, "Ia sedang di ruang bawah tanah memakan makanan yang istimewa".
Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah anaknya sedang makan sapi.
Wanita itupun turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya. Dilihatnya anaknya tampak sangat kurus. Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya memancar dari wajahnya.
Wanita itu mendatanginya. ia melihat sekerat roti di situ. Ia berkata, Apa ini?�
Anaknya menjawab, Itulah yang aku makan, sekerat roti setiap hari.�
Wanita itu kecewa. Ia kemudian mendatangi Syaikh Abdul Qadir dan berkata, "Aku membawa anakku untuk bersamamu".�
Saat wanita itu berbicara, sang Syaikh memerintahkan para muridnya, "Makan!
Setiap murid memakan ayam dihadapannya masing- masing. Yang dimakan bukan potongan-potongan, tapi ayam yang utuh yang telah masak. Lalu di kumpulkan tulang-tulang ayamnya. lalu beliau mengatakan " Wahai tulang-belulang, hiduplah dengan izinku"! Maka seketika tulang-belulang itu kembali hidup menjadi wujud ayam seperti sedia kala. Kemudian beliau berkata pada wanita itu, "Jika kau ingin anakmu mencapai suatu tingkat untuk dapat memakan ayam, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyah atau pelatihan".
Tarbiyah itu adalah untuk membina dan melatih pikiran, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang diperlukan.
Seorang yang ingin senang tentu harus berusaha keras untuk mencapainya. Demikian juga orang yang ingin berhasil, maka ia harus belajar dengan sungguh-sungguh sebagaimana dikatakan Syekh Abdul Qadir di atas.
Dalam Suatu Perjalanan
Pada suatu saat, Syaikh Abdul Qadir sedang berada dalam suatu perjalanan. Perjalanan yang ditempuhnya benar-benar berat. Ia harus melewati gurun padang pasir. Berhari-hari lamanya ia tidak menemukan air. Syaikh Abdul Qadir sudah sangat kehausan.
Tiba-tiba muncul segerombolan awan di langit. Awan itu seolah melindunginya. Dari awan itu jatuh tetesan air. Maka Syaikh Abdul Qadir segera meminum tetesan air dari atas itu. Hilanglah rasa dahaganya.
Kemudian aku melihat cahaya terang benderang, tiba-tiba ada suara memanggilku, "Wahai Abdul Qadir, Aku Rabbmu dan Aku telah halalkan segala yang haram kepadamu"
Maka Abdul Qodir berkata: Pergilah wahai engkau Syetan terkutuk.
Tiba-tiba awan itu berubah menjadi gelap dan berasap. Kemudian ada suara yang mengucapkan: "Wahai Abdul Qadir, engkau telah selamat dariku (syetan) dengan amalmu dan fiqihmu. Dan beliau berkata: "Bukan amal dan ilmu fiqihku yang telah menyelamatkanku, akan tetapi rahmat Allahlah yang menyelamatkanku". Demikian sedikit kisah tentang Abdul Qodir.
Syaikh Abdul Qadir memiliki 49 orang anak, 27 di antaranya adalah laki-laki. Beliaulah yang mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Di antara tulisan beliau antara lain kitab
- Al-Fathu Ar-Rabbani,
- Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan
- Futuh Al-Ghaib.
Beliau wafat pada tanggal 10 Rabi'ul Akhir tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M pada saat usia beliau 90 tahun.
Pertemuan Jailani dengan al-Hamadani
Abu Sa'id Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi'i, berkata, "Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan menghilang kapan saja sesuka hatinya.
Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syaikh Abdul Qadir Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui.
Aku menimpali, Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia katakan.�
Sementara Syaikh Abdu-Qadir Jailani berkata, Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu tauhidnya".
Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini! dan ia melanjutkan, Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.
Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, "Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku".
Kemudian ia memandang kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, mendudukkannya bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata,"Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu".
Ibn Abi Asrun melanjutkan, Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syaikh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, ˜Kedua kakiku berada di atas leher semua wali". Syaikh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.
Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolahan.
Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya.
Kegelapan Menutupi Mukanya
Suatu hari seseorang melihat Ibnu al-Saqa. Orang yang bertemu dengan Ibn al-Saqa itu menceritakan bahwa ia bertanya kepadanya, "Apa yang terjadi kepadamu"?
Ibn al-Saqa menjawab, Aku terperosok ke dalam godaan.
Orang itu bertanya lagi, Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci?
Ibnu al-Saqa menjawab, Aku ingat ayat yang berbunyi, ˜Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam". (Q.S. al-Hijr [15]: 2)
Orang itu menceritakan Ibnu al-Saqa gemetar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia terus saja menghadap ke timur. Sekali lagi aku berusaha mengarahkannya ke Ka’bah, tetapi ia kembali menghadap ke timur. Hingga tiga kali aku berusaha, namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke timur. Kemudian, bersamaan dengan keluarnya ruh dari jasadnya, ia berkata, "Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf al-Hamadani".
Sementara salah satu orang yang dulu menemui syaikh al-Hamadani, Ibn Abi Asrun menceritakan, Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda. Aku datang ke Damaskus dan raja di sana, Nuruddin al-Syahid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai hasilnya, dunia datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.
Wala haula wala quwwata illa billah.
Kisah-kisah ini diambil dari kitab manaqib Syaikh Abdul Qodir al-jailani yang berjudul "Nurul Burhan" dan lain-lain.